Mana yang lebih benar menurut anda? Sukses dulu baru Bahagia atau Bahagia dulu baru Sukses. Mungkin anda merasa Sukses dulu baru Bahagia. Nah, jika kita tidak sukses-sukses kita tidak bahagia dong? Gawat bukan, jika kita hidup tidak bahagia.
Prof. Shawn Achor, seorang professor di Harvard University meneliti tentang KEBAHAGIAAN. Diteliti dari berbagai profesi, mulai dokter, karyawan, mahasiswa bahkan entrepreneur. Ternyata pada saat kita bahagia, otak menghasilkan hormon-hormon yang membuat kita relax, nyaman dan sehat, seperti endhorphin, enkavalin dll. Sedangkan pada saat kita tidak bahagia, stress atau depresi, maka otak memicu produksi hormon- hormon destruktif seperti kortisol dll. Dalam bukunya yang berjudul Happiness Advantage Prof. Shawn Achor menarik kesimpulan bahwa orang-orang yang bahagia ternyata 3 kali lipat lebih sukses daripada orang-orang yang tidak bahagia.
Dalam sebuah training motivasi di salah satu bank di Indonesia, saya membahas kebahagiaan agar karyawan dapat lebih menikmati pekerjaannya. Saya bertanya kepada peserta , dari skala 1-10 Anda merasa level bahagianya berada di mana? Salah satu front liner sharing. Dia merasa kebahagiannya berada di level 5. Kemudian saya bertanya, jadi anda merasa kurang bahagia? Dan dia pun sharing mengenai pekerjaannya. Dia bercerita bahwa dia merasa kecewa jika ada selisih uang. Jika ada customer yang kurang menghargai dirinya. Atau jika ada customer yang sulit diatur dan semaunya, itu membuatnya marah. Dan dia merasa bahagia jika dapat bertemu suaminya setiap hari. Padahal mereka berada di kota yang berbeda, long distance relationship. Pegawai bank ini meletakkan kebahagiannya dan kecewanya kepada orang lain. Banyak dari kita membuat standar kebahagiaan sangat sulit. Mengapa kita hanya bahagia saat bertemu suami, padahal suami berada di kota yang berlainan. Lantas, jika kita bertemu suami kita tidak boleh bahagia? Tentu saja, kita akan sangat bahagia. Namun jika tidak bertemu suami kita pun tetap harus bahagia bukan? Buatlah syarat bahagia semudah mungkin. Misalnya, Saya bahagia selama saya masih bisa menghirup udara. Artinya kita masih bernafas, masih hidup kita selalu bahagia.
Begitu pula untuk kekecewaan, kita buat standar kekecewaan yang sangat..sangat..sangat..sangat sulit. Jika kita meletakkan kekecewaan kita kepada customer, rekan kerja, sahabat, anak atau orang lain, maka setiap saat kita akan berpotensi merasa sedih. Agar kita merasa sulit bersedih, misalnya kita buat, Saya hanya bersedih jika saya tidak belajar apapun hari ini. Setiap saat kita bisa belajar apapun bukan? Meski hanya belajar hal kecil dan remeh dalam hidup.
Kebahagiaan adalah hak kita. Kita yang memutuskan apakah kita bahagia atau tidak. Ada banyak hal yang mungkin tidak sesuai dengan kehendak kita. Namun jangan biarkan semua hal tersebut merusak kebahagiaan kita. Kita tetap boleh bersedih, bahkan menangis, kita boleh marah. Itu hal yang wajar dan sehat. Namun dalam kesedihan kita tetap harus bersyukur, karena dibalik segala duka ada makna Tuhan selalu beserta kita. Katakan bersama : I LOVE LIVING LIFE. I AM HAPPY.